Menurut Mochtar (1998, 137-140). Adapun konsep dasar penyakit jantung
adalah sebagai berikut:
1. Definisi
Pada kehamilan dengan jantung normal, wanita dapat menyesuaikan kerjanya
terhadap perubahan-perubahan secara fisiologis. Perubahan tersebut disebabkan
oleh:
-
Hipervolemia: dimulai sejak kehamilan 8 minggu dan mencapai puncaknya pada 28-32 minggu
lalu menetap.
-
Jantung dan diafragma terdorong ke atas oleh karena
pembesaran rahim.
Dalam kehamilan:
-
Denyut jantung dan nadi: meningkat
-
Pukulan jantung: meningkat
-
Volume darah: meningkat
-
Tekanan darah: menurun sedikit
Maka dapat dipahami bahwa kehamilan dapat memperbesar penyakit jantung
bahkan dapat menyebabkan payah jantung (dekompensasi kordis).
2. Keluhan utama
Menurut Manuaba (1998: 272),
keluhan utama yang sering dikemukakan ialah:
-
Cepat merasa
lelah
-
Jantungnya
berdebar-debar
-
Sesak napas
apalagi disertai sianosis
-
Edema
tungkai atau terasa berat pada kehamilan muda
-
Mengeluh
tentang bertambah besarnya rahim yang tidak sesuai.
3. Pengaruh
Kehamilan Terhadap Penyakit Jantung
Saat-saat yang berbahaya bagi penderita adalah:
a. Pada
kehamilan 32-36 minggu, dimana volume darah mencapai puncaknya (hipervolumia).
b. Pada
kala II, dimana wanita mengerahkan tenaga untuk mengedan dan memerlukan kerja
jantung yang berat.
c. Pada
pasca persalinan, dimanan darah dari ruang intervilus plasenta yang sudah
lahir, sekarang masuk ke dalam sirkulasi darah ibu.
d. Pada
masa nifas, karena ada kemungkinan infeksi.
4. Pengaruh
Penyakir Jantung Terhadap Kehamilan
a. Dapat
terjadi abortus.
b. Prematuritas,
lahir tidak cukup bulan.
c. Dismaturitas,
lahir cukup bulan namun dengan berat badan lahir rendah.
d. Lahir
dengan Apgar rendah atau lahir mati.
e. Kematian
janin dalam rahim (KJDR).
5. Klasifikasi
Penyakit Jantung dalam Kehamilan
a. Kelas
I
-
Tanpa pembatasan kegiatan fisik.
-
Tanpa gejala pada kegiatan biasa.
b. Kelas
II
-
Sedikit dibatasi kegiatan fisiknya.
-
Waktu istirahat tidak ada keluhan.
-
Kegiatan fisik biasa menimbulkan gejala insufisiensi
jantung.
-
Gejalanya adalah lelah, palpitasi, sesak nafas, dan
nyeri dada (angina pektoris).
c. Kelas
III
-
Kegiatan fisik sangat dibatasi.
-
Waktu istirahat tidak ada keluhan.
-
Sedikit kegiatan fisik menimbulkan keluhan insufisiensi
jantung.
d. Kelas
IV
-
Waktu istirahat dapat timbul keluhan insufisiensi
jantung, apalagi kerja fisik yang tidak berat.
6. Diagnosis
a. Anamnesis
-
Pernah sakit jantung dan berobat pada dokter untuk
penyakitnya
-
Pernah demam rematik
b. Pemeriksaan:
auskultasi/palpasi
Empat kriteria (Burwell & Metcalfe):
-
Adanya bising diastolik, presistolik, atau bising
terus-menerus.
-
Pembesaran jantung yang jelas.
-
Adanya bising jantung yang nyaring disertai thrill.
-
Aritmia yang berat.
c. Pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG)
Jika wanita hamil disangka menderita penyakit jantung, yang paling baik
adalah dikonsultasikan kepada akhirnya.
Dikeluhan dan gejala: mudah lelah, dispnea, palipitasi kordis, nadi tidak
teratur, edema/ pulmonal, dan sianosis. Hal ini dapat dikenal dengan mudah.
7. Penanganan
a. Dalam
kehamilan
-
Memberikan pengertian kepada ibu hamil untuk
melaksanakan pengawasan antenatal yang teratur sesuai dengan jadwal yang
ditentukan (misalnya, sekali seminggu) merupakan hal yang penting.
-
Kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiolog,
untuk penyakit jantung, harus dibina sedini mungkin.
-
Pencegahan terhadap kenaikan berat badan dan retensi
air yang berlebihan. Jika terdapat anemia, harus diobati.
-
Timbulnya hipertensi atau hipotensi akan memberatkan
kerja jantung, hal ini harus diobati.
-
Bila terjadi keluhan yang agak berat, seperti sesak
nafas, infeksi saluran pernafasan, dan sianosis, penderita harus dirawat di
rumah sakit untuk pengawasan dan pengobatan yang lebih intensif.
-
Skema kunjungan antenatal: setiap 2 minggu menjelang
kehamilan 28 minggu dan 1 kali seminggu setelahnya.
-
Wanita hamil dengan penyakit jantung harus cukup
istirahat, cukup diet rendah garam, dan pembatasan jumlah cairan.
-
Sebaiknya penderita dirawat 1-2 minggu sebelum taksiran
persalinan.
-
Pengobatan khusus bergantung pada kelas penyakit:
·
Kelas I :
tidak memerlukan pengobatan tambahan.
·
Kelas II :
biasanya tidak memerlukan terapi tambahan. Mengurangi kerja fisik terutama
antara kehamilan 28-36 minggu.
·
Kelas III :
memerlukan digitalisasi atau obat lainnya. Sebaiknya dirawat di rumah sakit sejak
kehamilan 28-30 minggu.
·
Kelas IV :
harus dirawat di rumah sakit dan diberikan pengobatan, bekerjasama dengan
kardiolog.
b. Dalam
persalinan
Penderita kelas I dan kelas II biasanya dapat meneruskan kehamilan dan
bersalin per vaginam, namun dengan pengawasan yang baik serta bekerjasama
dengan ahli penyakit dalam.
-
Membuat daftar his: daftar nadi, pernafasan, tekanan
darah yang diawasi dan dicatat setiap 15 menit dalam kala I dan setiap 10 menit
dalam kala II. Bila ada tanda-tanda payah jantung (dekompensasi kordis) diobati
dengan digitalis. Memberikan sedilanid dosis awal 0,8 mg dan ditambahkan sampai
dosis 1,2-1,6 mg intravena secara perlahan-lahan. Jika perlu, suntikan dapat
diulang 1-2 kali dalam dua jam. Di kamar bersalin harus tersedia tabung berisi
oksigen, morfin, dan suntikan diuretikum.
-
Kala II yaitu kala yang kritis bagi penderita. Bila
tidak timbul tanda-tanda payah jantung, persalinan dapat ditunggu, diawasi, dan
ditolong secara spontan. Dalam 20-30 menit, bila janin belum lahir, kala II
segera diperpendek dengan ekstraksi vakum atau forseps. Kalau dijumpai
disproporsi sefalopelvik. Maka dilakukan seksio sesarea dengan lokal anestesi/
lumbal/ kaudal di bawah pengawasan beberapa ahli multidisiplin.
-
Untuk menghilangkan rasa sakit boleh diberikan obat
analgesik seperti petidin dan lain-lain. Jangan diberikan barbiturat (luminal)
atau morfin bila ditaksir bayi akan lahir dalam beberapa jam.
-
Kala II biasanya berjalan seperti biasa. Pemberian
ergometrin dengan hati-hati, biasanya sintometrin intramuskuler adalah aman.
c. Dalam
pasca persalinan dan nifas
-
Setelah bayi lahir, penderita dapat tiba-tiba jatuh
kolaps, yang disebabkan darah tiba-tiba membanjiri tubuh ibu sehingga kerja
jantung menjadi sangat bertambah. Hal ini harus diawasi dan dipahami oleh
penolong. Selain itu, perdarahan merupakan komplikasi yang cukup berbahaya.
-
Karena itu penderita harus tetap diawasi dan dirawat
sekurang-kurangnya 2 minggu setelah bersalin.
d. Penanganan
secara umum
-
Penderita kelas III dan IV tidak boleh hamil karena
kehamilan sangat membahayakan jiwanya.
-
Bila hamil, sedini mungkin abortus buatan medikalis
hendaknya dipertimbangkan untuk dikerjakan.
-
Pada kasus tertentu sangat dianjurkan untuk tidak hamil
lagi dengan melakukan tubektomi, setelah penderita afebris, tidak anemis, dan
sedikit keluhan.
-
Bila tidak mau sterilisasi, dianjurkan memakai
kontrasepsi. Kontrasepsi yang baik adalah IUD (AKDR).
e. Masa
laktasi
-
Laktasi diperbolehkan pada wanita dengan penyakit
jantung kelas I dan II, yang sanggup melakukan kerja fisik.
-
Laktasi dilarang pada wanita dengan penyakit jantung
kelas III dan IV.
8. Prognosis
a. Bagi
ibu
Prognosis bergantung pada beratnya penyakit yang diderita, umur, dan
penyulit-penyulit lain. Pengawasan pengobatan, pimpinan persalinan, dan
kerjasama dengan penderita serta kepatuhan dalam mentaati larangan, ikut
menentukan prognosis.
b. Bagi
bayi
-
Bila penyakit jantung tidak terlalu berat, tidak begitu
mempengaruhi kematian perinatal.
-
Namun pada penyakit yang berat, prognosis akan buruk
karena akan terjadi gawat janin.
9.
Hipertensi
(Tekanan Darah Tinggi)
Yang dimaksud dengan
hipertensi disertai kehamilan adalah hipertensi yang telah ada sebelum
kehamilan. Apabila dalam kehamilan disertai dengan proteinuria dan edema maka
disebut pre eklampsia yang tidak murni atau superimosed pre eklampsia. Penyebab
utama hipertensi pada kehamilan adalah hipertensi esensial dan penyakit ginjal
(manuaba, 1998:273).
Menurut Mochtar (1998: 141),
penyebab utama hipertensi dalam kehamilan adalah:
a.
Hipertensi
esensial
Menurut Mochtar
(1998: 142), hipertensi esensial adalah penyakit hipertensi yang mungkin
disebabkan oleh faktor herediter serta dipengaruhi oleh faktor emosi dan
lingkungan.
Wanita hamil
dengan hipertensi tidak menunjukkan gejala-gejala lain kecuali hipertensi. Yang
paling banyak dijumpai adalah hipertensi esensial jinak dengan tekanan darah
sekitar 140/90 sampai 160/100. Hipertensi jarang berubah menjadi ganas secara
mendadak hingga mencapai sistolik 200 mmHg atau lebih. Gejala-gejala seperti
kelainan jantung, arteriosklerosis, perdarahan otak, dan penyakit ginjal baru
timbul setelah dalam waktu lama dan penyakit terus berlanjut.
- Kehamilan dengan hipertensi esensial akan
berlangsung normal sampai aterm.
- Pada kehamilan setelah 30 minggu, 30% dari
wanita hamil akan menunjukkan kenaikan tekanan darahnya namun tanpa gejala.
- Kira-kira 20% dari wanita hamil akan
menunjukkan kenaikan tekanan darah yang mencolok, bisa disertai proteinuria dan
edema (pre eklampsia tidak murni) dengan keluhan: sakit kepala, nyeri
epigastrium, oyong, mual, muntah, dan gangguan penglihatan (visus).
Hipertensi ini
sering dijumpai pada multipara berusia lanjut dan kira-kira 20% dari kasus
toksemia gravidarum.
Penanganan
Menurut Mochtar (1998: 143),
adapun penanganannya diantaranya:
1)
Dalam
kehamilan
- Dianjurkan menaati pemeriksaan antenatal
yang teratur dan jika perlu, dikonsultasikan dengan ahli.
- Dianjurkan cukup istirahat, menjauhi emosi
dan jangan bekerja terlalu berat.
- Penambahan berat badan yang agresif harus
dicegah. Dianjurkan untuk diet tinggi protein, rendah hidrat arang, rendah
lemak, dan rendah garam.
- Pengawasan terhadap janin harus lebih
teliti, disamping pemeriksaan biasa, dapat dilakukan pemeriksaan monitor janin
lainnya seperti elektrokardiografi fetal, ukuran biparietal (USG), penentuan
kadara estriol, amnioskopi, pH darah janin, dan sebagainya.
Pemberian obat-obatan:
- Anti-hipertensif: serpasil, katapres,
minipres, dan sebagainya.
- Obat penenang: fenobarbital, valium,
frisium ativan, dan sebagainya.
2)
Dalam
persalinan
- Kala I akan berlangsung tanpa gangguan.
- Kala II memerlukan pengawasan yang cermat
dan teliti. Bila ada tanda-tanda penyakit bertambah berat dan pembukaan hampir
atau sudah lengkap, ibu dilarang mengedan, kala II diperpendek dengan melakukan
ekstrasi vakum atau forseps.
- Pada primitua dengan anak hidup dilakukan
segera seksio sesarea primer.
Prognosis
Menurut Mochtar (1998: 143),
adapun prognosisnya adalah:
- Prognosisn untuk ibu kurang baik. Angka
kematian ibu kira-kira 1-2%: biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, payah
jantung, dan uremia.
- Prognosis bagi janin juga kurang baik,
karena adanya insufisiensi plasenta, solusio plasenta. Janin bertumbuh kurang
sempurna: prematuritas, dismaturitas. Angka kematian bayi: 20%.
Nasihat
Menurut Mochtar (1998: 143),
adapun nasehat yang disampaikan diantaranya:
- Dianjurkan untuk memakai kontrasepsi, bila
jumlah anak belum cukup, selama beberapa tahun.
- Bila jumlah anak sudah cukup, dianjurkan
untuk segera melakukan tubektomi.
b.
Hipertensi
karena penyakit ginjal
Menurut Mochtar
(1998: 144), penyakit ginjal dengan gejala hipertensi yang dapat dijumpai pada
wanita hamil adalah:
- Glomerulonefritis akut dan kronik.
- Pielonefritis akut dan kronik.
Frekuensi:
- Secara klinis kira-kira 1%
- Secara patologi-anatomis kira-kira 15%
Pemeriksaan
Menurut Mochtar (1998: 144),
pmeriksaannya sebagai berikut:
1)
Pemeriksaan
urin lengkap dan faal ginjal
2)
Pemeriksaan
retina (fundoskopi)
3)
Pemeriksaan
umum: tekanan darah, nadi.
4)
Pemeriksaan
kuantitatif albumin air kencing (urin).
5)
Pemeriksaan
darah lengkap: ureum darah dan lain-lain.
Penanganan
Menurut Mochtar (1998: 144),
penanganannya sebagai berikut:
1)
Pemeriksaan
antenatal yang baik dimana pengobatan penyakit ginjal bekerjasama dengan ahli
nefrologi.
2)
Keadaan umum
ibu dan pertumbuhan janin harus diawasi.
3)
Berat
tidaknya penyakit dan perlu tidaknya pengakhiran kehamilan adalah atas indikasi
dan pembicaraan beberapa disiplin ilmu yaitu kebidanan, penyakit dalam, dan
ilmu kesehatan anak.
C.
Konsep Seksio Sesarea
1. Definisi
Seksio sesarea ialah
pembelahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
uterus.
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan
a. Seksio sesarea elektif
Seksio sesarea ini
direncanakan lebih dahulu karena sudah diketahui bahwa kehamilan harus
diselesaikan dengan pemebedahan itu. Keuntungannya ialah bahwa waktu pembedahan
dapat ditentukan oleh dokter yang akan menolongnya dan bahwa segala persiapan
dapat dilakukan dengan baik. Kerugiannya ialah oleh karena persalinan belum
mulai, segmen bawah uterus belum terbentuk dengan bak sehingga menyulitkan
pembedahan, dan lebih mudah terjadi atonia uteri dengan perdarahan karena
uterus belum mulai dengan kontraksinya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa
umumnya keuntungan lebih besar daripada kerugian (Wiknjosastro, 2007: 865).
b. Anestesia
Anestesia umum
mempunyai pengaruh depresif pada pusat pernafasan janin, sehingga kadang-kadang
bayi lahir dalam keadaan apnea yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Selain
itu ada pengaruh terhadap tonus uterus, sehingga kadang-kadang timbul perdarahan
postpartum karena atonia uteri. Akan tetapi bahaya terbesar ialah apabila
diberikan anestesia umum sedang lambung penderita tidak kosong. Pada wanita
yang tidak sadar karena anestesia ada kemungkinan isi lambung masuk ke dalam
jalan pernafasan: hal ini merupakan peristiwa yang sangat berbahaya.
Anastesia spinal
aman buat janin, akan tetapi selalu ada kemungkinan bahwa tekanan darah
penderita menurun dengan akibat yang buruk bagi ibu dan janin.
Cara yang paling
aman adalah anestesia lokal, akan tetapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung
dengan sikap mental penderita.
c. Transfusi darah
Pada umumnya
perdarahan pada seksio sesarea lebih banyak daripada persalinan pervaginam.
Perdarahan tersebut disebabkan oleh insisi pada uterus, ketika pelepasan
plasenta, mungkin juga karena terjadinya atonia uteri postpartum. Berhubung
dengan itu pada tiap-tiap seksio sesarea perlu diadakan persediaan darah.
d. Pemberian antibiotika
Walaupun pemberian
antibiotika sesudah seksio sesarea elektif dapat dipersoalkan, namun pada
umumnya pemberiannya dianjurkan.
3. Tehnik Seksio Sesarea
a. Tehnik seksio
sesarea transperitonealis profunda
Menurut
Wiknjosastro (2007: 866-869), adapun tehnik seksio
sesarea transperitonealis profunda yaitu:
1)
Dauercatheter dipasang dan wanita berbaring dalam letak trendelenburg ringan.
2)
Diadakan
insisi pada dinding perut pada garis tengah dari simfisis sampai beberapa
sentimeter di bawah pusat.
3)
Setelah
peritoneum dibuka, dipasang spekulum perut, dan lapangan operasi dipisahkan
dari rongga perut dengan satu kain kasa panjang atau lebih. Peritoneum pada
dinding uterus depan dan bawah dipegang dengan pinset, plika vesiko-uterina
dibuka dan insisi ini diteruskan melintang jauh ke lateral: kemudian kandung
kencing dengan peritoneum di depan uterus didorong ke bawah dengan jari.
4)
Pada segmen
bawah uterus, yang sudah tidak ditutup lagi oleh peritoneum serta kandung
kencing dan yang biasanya sudah menipis, diadakan insisi melintang selebar 10
cm dengan ujung kanan dan kiri agak melengkung ke atas untuk menghindari terbukanya
cabang-cabang arteria uterina. Karena uterus dalam kehamilan tidak jarang
memutar ke kanan, sebelum dibuat insisi, posisi uterus diperiksa dahulu dengan
memperhatikan ligamenta rotunda kanan dan kiri. Di tengah-tengah, insisi
diteruskan sampai dinding uterus terbuka dan ketuban tampak: kemudian luka yang
terakhir ini dilebarkan dengan gunting berujung tumpul mengikuti sayatan yang
sudah dibuat terlebih dahulu.
5)
Sekarang
ketuban dipecahkan, dan air ketuban yang keluar diisap. Kemudian spekulum perut
diangkat dan tangan dimasukkan ke dalam uterus di belakang kepala janin dan
dengan memegang kepala dari belakang dengan jari-jari tangan penolong,
diusahakan lahirnya kepala malalui lubang insisi. Jika dialami kesulitan untuk
melahirkan kapala janin dengan tangan, dapat dipasang cunam Beorma. Sesudah
kepala janin, badan terus dilahirkan, muka dan mulut dibersihkan, tali pusat
dipotong, dan bayi diserahkan kepada orang lain untuk diurus. Pada presentasi
sungsang atau letak lintang kaki janin dicari, dan janin dilahirkan dengan
tarikan pada kaki.
6)
Sekarang
diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam dinding uterus atau intravena
untuk mengusahakan kontraksi yang baik: pinggir luka insisi dipegang dengan
beberapa cunam ovum, dan plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara
manual.
7)
Tampon untuk
sementara dimasukkan ke dalam rongga uterus guna mempermudah jahitan luka pada
dinding uterus: tampon ini diangkat sebelum luka uterus ditutup sama sekali.
8)
Jahitan otot
uterus dilakukan dalam 2 lapisan. Lapisan pertama terdiri atas jahitan simpul
dengan catgut dan dimulai dari ujung yang satu ke ujung yang lain: jahitan ini
memegang otot uterus, akan tetapi sedapat-dapatnya jangan mengikutsertakan
desidua. Lapisan kedua terdiri atas jahitan menerus, sehingga luka pada
miometrium tertutup rapi.
9)
Akhirnya
luka peritoneum pada plika vesiko-uterina ditutup dengan jahitan catgut halus
sehingga menutup bekas luka pada miometrium dan, setelah diamat-amati bahwa
uterus berkontraksi baik dinding perut ditutup dengan cara biasa.
b. Tehnik seksio
sesarea korporal
Menurut
Wiknjosastro (2007: 869), adapun tehnik seksio
sesarea korporal adalah sebagai berikut:
1)
Setelah
dinding perut dan peritoneum parietale terbuka pada garis tengah dipasang
beberapa kain kasa panjang antara dinding perut dan dinding uterus untuk
mencegah masuknya air ketuban dan darah ke rongga perut.
2)
Diadakan
insisi pada bagian tengah korpus uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di
atas batas plika vesiko-uterina.
3)
Diadakan
lubang kecil pada kantong ketuban untuk menghisap air ketuban sebanyak mungkin:
lubang ini kemudian dilebarkan, dan janin dilahirkan dengan tarikan pada
kakinya.
4)
Setelah anak
lahir, korpus uteri dapat dikeluarkan dari rongga perut untuk memudahkan
tindakan-tindakan selanjutnya.
5)
Sekarang
diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam dinding uterus atau intravena, dan
plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara manual.
6)
Kemudian
dinding uterus ditutup dengan jahitan catgut
yang kuat dalam dua lapisan: lapisan pertama terdiri atas jahitan simpul dan
lapisan kedua atas jahitan menerus. Selanjutnya diadakan jahitan menerus dengan
catgut yang lebih tipis, yang
mengikutsertakan peritoneum serta bagian luar miometrium dan yang menutup
jahitan yang terlebih dahulu dengan rapi.
7)
Akhirnya dinding
perut ditutup secara biasa.
4. Komplikasi
a. Ibu
Faktor-faktor yang
memperngaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan ialah kelainan atau gangguan
yang menjadi indikasi untuk melakukan pembedahan, dan lamanya persalinan
berlangsung. Tentang faktor pertama, niscaya seorang wanita dengan plasenta
previa dan perdarahan banyak memikul risiko yang lebih besar daripada seorang
wanita lain yang mengalami seksio sesarea elektif karena disproporsi
sefalopelvik. Demikian pula makin lama persalinan berlangsung, makin meningkat
bahaya infeksi postoperatif, apalagi setelah ketuban pecah (Wiknjosastro, 2007:
870).
Menurut
Wiknjosastro (2007: 870), komplikasi-komplikasi yang biasa timbul:
1) Infeksi puerperal
Komplikasi ini
bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa
nifas: atau bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis, dan sebagainya.
Infeksi postoperatif terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala
infeksi intrapartum, atau ada faktor-faktor yang merupakan perdisposisi
terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan
vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi sangat diperkecil dengan pemberian
antibiotika, akan tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali: terutama seksio
sesarea klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada seksio sesarea
transperitonealis profunda.
2) Perdarahan
Perdarahan banyak
bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteria uterina ikut
terbuka, atau karena atonia uteri.
3) Komplikasi-komplikasi lain
Seperti luka
kandung kencing, embolisme paru-paru, dan sebagainya sangat jarang terjadi.
4) Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak
Ialah kurang
kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi
ruptura uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih banyak ditemukan sesudah seksio
sesaria klasik.
b. Anak
Seperti halnya
dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan seksio sesarea banyak
tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan seksio sesarea.
Menurut statistik di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intranatal
yang baik, kematian perinatal pasca seksio sesarea berkisar antara 4-7%
(Wiknjosastro, 2007: 870).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar