Senin, 21 Januari 2013

Kehamilan dengan Penyakit Jantung

.  Konsep Dasar Penyakit Jantung
Menurut Mochtar (1998, 137-140). Adapun konsep dasar penyakit jantung adalah sebagai berikut:
1.    Definisi
Pada kehamilan dengan jantung normal, wanita dapat menyesuaikan kerjanya terhadap perubahan-perubahan secara fisiologis. Perubahan tersebut disebabkan oleh:
-  Hipervolemia: dimulai sejak kehamilan 8 minggu dan mencapai puncaknya pada 28-32 minggu lalu menetap.
-  Jantung dan diafragma terdorong ke atas oleh karena pembesaran rahim.
Dalam kehamilan:
-  Denyut jantung dan nadi: meningkat
-  Pukulan jantung: meningkat
-  Volume darah: meningkat
-  Tekanan darah: menurun sedikit
Maka dapat dipahami bahwa kehamilan dapat memperbesar penyakit jantung bahkan dapat menyebabkan payah jantung (dekompensasi kordis).
2.    Keluhan utama
Menurut Manuaba (1998: 272), keluhan utama yang sering dikemukakan ialah:
-  Cepat merasa lelah
-  Jantungnya berdebar-debar
-  Sesak napas apalagi disertai sianosis
-  Edema tungkai atau terasa berat pada kehamilan muda
-  Mengeluh tentang bertambah besarnya rahim yang tidak sesuai.
3.    Pengaruh Kehamilan Terhadap Penyakit Jantung
Saat-saat yang berbahaya bagi penderita adalah:
a.    Pada kehamilan 32-36 minggu, dimana volume darah mencapai puncaknya (hipervolumia).
b.    Pada kala II, dimana wanita mengerahkan tenaga untuk mengedan dan memerlukan kerja jantung yang berat.
c.    Pada pasca persalinan, dimanan darah dari ruang intervilus plasenta yang sudah lahir, sekarang masuk ke dalam sirkulasi darah ibu.
d.    Pada masa nifas, karena ada kemungkinan infeksi.
4.    Pengaruh Penyakir Jantung Terhadap Kehamilan
a.     Dapat terjadi abortus.
b.    Prematuritas, lahir tidak cukup bulan.
c.     Dismaturitas, lahir cukup bulan namun dengan berat badan lahir rendah.
d.    Lahir dengan Apgar rendah atau lahir mati.
e.     Kematian janin dalam rahim (KJDR).
5.    Klasifikasi Penyakit Jantung dalam Kehamilan
a.     Kelas I
-  Tanpa pembatasan kegiatan fisik.
-  Tanpa gejala pada kegiatan biasa.
b.    Kelas II
-  Sedikit dibatasi kegiatan fisiknya.
-  Waktu istirahat tidak ada keluhan.
-  Kegiatan fisik biasa menimbulkan gejala insufisiensi jantung.
-  Gejalanya adalah lelah, palpitasi, sesak nafas, dan nyeri dada (angina pektoris).
c.     Kelas III
-  Kegiatan fisik sangat dibatasi.
-  Waktu istirahat tidak ada keluhan.
-  Sedikit kegiatan fisik menimbulkan keluhan insufisiensi jantung.
d.    Kelas IV
-  Waktu istirahat dapat timbul keluhan insufisiensi jantung, apalagi kerja fisik yang tidak berat.
6.    Diagnosis
a.     Anamnesis
-  Pernah sakit jantung dan berobat pada dokter untuk penyakitnya
-  Pernah demam rematik
b.    Pemeriksaan: auskultasi/palpasi
Empat kriteria (Burwell & Metcalfe):
-  Adanya bising diastolik, presistolik, atau bising terus-menerus.
-  Pembesaran jantung yang jelas.
-  Adanya bising jantung yang nyaring disertai thrill.
-  Aritmia yang berat.
c.     Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)
Jika wanita hamil disangka menderita penyakit jantung, yang paling baik adalah dikonsultasikan kepada akhirnya.
Dikeluhan dan gejala: mudah lelah, dispnea, palipitasi kordis, nadi tidak teratur, edema/ pulmonal, dan sianosis. Hal ini dapat dikenal dengan mudah.


7.    Penanganan
a.     Dalam kehamilan
-  Memberikan pengertian kepada ibu hamil untuk melaksanakan pengawasan antenatal yang teratur sesuai dengan jadwal yang ditentukan (misalnya, sekali seminggu) merupakan hal yang penting.
-  Kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiolog, untuk penyakit jantung, harus dibina sedini mungkin.
-  Pencegahan terhadap kenaikan berat badan dan retensi air yang berlebihan. Jika terdapat anemia, harus diobati.
-  Timbulnya hipertensi atau hipotensi akan memberatkan kerja jantung, hal ini harus diobati.
-  Bila terjadi keluhan yang agak berat, seperti sesak nafas, infeksi saluran pernafasan, dan sianosis, penderita harus dirawat di rumah sakit untuk pengawasan dan pengobatan yang lebih intensif.
-  Skema kunjungan antenatal: setiap 2 minggu menjelang kehamilan 28 minggu dan 1 kali seminggu setelahnya.
-  Wanita hamil dengan penyakit jantung harus cukup istirahat, cukup diet rendah garam, dan pembatasan jumlah cairan.
-  Sebaiknya penderita dirawat 1-2 minggu sebelum taksiran persalinan.
-  Pengobatan khusus bergantung pada kelas penyakit:
·                                       Kelas I       : tidak memerlukan pengobatan tambahan.
·                                       Kelas II     : biasanya tidak memerlukan terapi tambahan. Mengurangi kerja fisik terutama antara kehamilan 28-36 minggu.
·                                       Kelas III    : memerlukan digitalisasi atau obat lainnya. Sebaiknya dirawat di rumah sakit sejak kehamilan 28-30 minggu.
·                                       Kelas IV    : harus dirawat di rumah sakit dan diberikan pengobatan, bekerjasama dengan kardiolog.
b.    Dalam persalinan
Penderita kelas I dan kelas II biasanya dapat meneruskan kehamilan dan bersalin per vaginam, namun dengan pengawasan yang baik serta bekerjasama dengan ahli penyakit dalam.
-  Membuat daftar his: daftar nadi, pernafasan, tekanan darah yang diawasi dan dicatat setiap 15 menit dalam kala I dan setiap 10 menit dalam kala II. Bila ada tanda-tanda payah jantung (dekompensasi kordis) diobati dengan digitalis. Memberikan sedilanid dosis awal 0,8 mg dan ditambahkan sampai dosis 1,2-1,6 mg intravena secara perlahan-lahan. Jika perlu, suntikan dapat diulang 1-2 kali dalam dua jam. Di kamar bersalin harus tersedia tabung berisi oksigen, morfin, dan suntikan diuretikum.
-  Kala II yaitu kala yang kritis bagi penderita. Bila tidak timbul tanda-tanda payah jantung, persalinan dapat ditunggu, diawasi, dan ditolong secara spontan. Dalam 20-30 menit, bila janin belum lahir, kala II segera diperpendek dengan ekstraksi vakum atau forseps. Kalau dijumpai disproporsi sefalopelvik. Maka dilakukan seksio sesarea dengan lokal anestesi/ lumbal/ kaudal di bawah pengawasan beberapa ahli multidisiplin.
-  Untuk menghilangkan rasa sakit boleh diberikan obat analgesik seperti petidin dan lain-lain. Jangan diberikan barbiturat (luminal) atau morfin bila ditaksir bayi akan lahir dalam beberapa jam.
-  Kala II biasanya berjalan seperti biasa. Pemberian ergometrin dengan hati-hati, biasanya sintometrin intramuskuler adalah aman.
c.     Dalam pasca persalinan dan nifas
-  Setelah bayi lahir, penderita dapat tiba-tiba jatuh kolaps, yang disebabkan darah tiba-tiba membanjiri tubuh ibu sehingga kerja jantung menjadi sangat bertambah. Hal ini harus diawasi dan dipahami oleh penolong. Selain itu, perdarahan merupakan komplikasi yang cukup berbahaya.
-  Karena itu penderita harus tetap diawasi dan dirawat sekurang-kurangnya 2 minggu setelah bersalin.
d.    Penanganan secara umum
-  Penderita kelas III dan IV tidak boleh hamil karena kehamilan sangat membahayakan jiwanya.
-  Bila hamil, sedini mungkin abortus buatan medikalis hendaknya dipertimbangkan untuk dikerjakan.
-  Pada kasus tertentu sangat dianjurkan untuk tidak hamil lagi dengan melakukan tubektomi, setelah penderita afebris, tidak anemis, dan sedikit keluhan.
-  Bila tidak mau sterilisasi, dianjurkan memakai kontrasepsi. Kontrasepsi yang baik adalah IUD (AKDR).
e.     Masa laktasi
-  Laktasi diperbolehkan pada wanita dengan penyakit jantung kelas I dan II, yang sanggup melakukan kerja fisik.
-  Laktasi dilarang pada wanita dengan penyakit jantung kelas III dan IV.


8.    Prognosis
a.     Bagi ibu
Prognosis bergantung pada beratnya penyakit yang diderita, umur, dan penyulit-penyulit lain. Pengawasan pengobatan, pimpinan persalinan, dan kerjasama dengan penderita serta kepatuhan dalam mentaati larangan, ikut menentukan prognosis.
b.    Bagi bayi
-  Bila penyakit jantung tidak terlalu berat, tidak begitu mempengaruhi kematian perinatal.
-  Namun pada penyakit yang berat, prognosis akan buruk karena akan terjadi gawat janin.
9.    Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)
Yang dimaksud dengan hipertensi disertai kehamilan adalah hipertensi yang telah ada sebelum kehamilan. Apabila dalam kehamilan disertai dengan proteinuria dan edema maka disebut pre eklampsia yang tidak murni atau superimosed pre eklampsia. Penyebab utama hipertensi pada kehamilan adalah hipertensi esensial dan penyakit ginjal (manuaba, 1998:273).
Menurut Mochtar (1998: 141), penyebab utama hipertensi dalam kehamilan adalah:
a.    Hipertensi esensial
Menurut Mochtar (1998: 142), hipertensi esensial adalah penyakit hipertensi yang mungkin disebabkan oleh faktor herediter serta dipengaruhi oleh faktor emosi dan lingkungan.
Wanita hamil dengan hipertensi tidak menunjukkan gejala-gejala lain kecuali hipertensi. Yang paling banyak dijumpai adalah hipertensi esensial jinak dengan tekanan darah sekitar 140/90 sampai 160/100. Hipertensi jarang berubah menjadi ganas secara mendadak hingga mencapai sistolik 200 mmHg atau lebih. Gejala-gejala seperti kelainan jantung, arteriosklerosis, perdarahan otak, dan penyakit ginjal baru timbul setelah dalam waktu lama dan penyakit terus berlanjut.
-      Kehamilan dengan hipertensi esensial akan berlangsung normal sampai aterm.
-      Pada kehamilan setelah 30 minggu, 30% dari wanita hamil akan menunjukkan kenaikan tekanan darahnya namun tanpa gejala.
-      Kira-kira 20% dari wanita hamil akan menunjukkan kenaikan tekanan darah yang mencolok, bisa disertai proteinuria dan edema (pre eklampsia tidak murni) dengan keluhan: sakit kepala, nyeri epigastrium, oyong, mual, muntah, dan gangguan penglihatan (visus).
Hipertensi ini sering dijumpai pada multipara berusia lanjut dan kira-kira 20% dari kasus toksemia gravidarum.
Penanganan
Menurut Mochtar (1998: 143), adapun penanganannya diantaranya:
1)   Dalam kehamilan
-  Dianjurkan menaati pemeriksaan antenatal yang teratur dan jika perlu, dikonsultasikan dengan ahli.
-  Dianjurkan cukup istirahat, menjauhi emosi dan jangan bekerja terlalu berat.
-  Penambahan berat badan yang agresif harus dicegah. Dianjurkan untuk diet tinggi protein, rendah hidrat arang, rendah lemak, dan rendah garam.
-  Pengawasan terhadap janin harus lebih teliti, disamping pemeriksaan biasa, dapat dilakukan pemeriksaan monitor janin lainnya seperti elektrokardiografi fetal, ukuran biparietal (USG), penentuan kadara estriol, amnioskopi, pH darah janin, dan sebagainya.
Pemberian obat-obatan:
-  Anti-hipertensif: serpasil, katapres, minipres, dan sebagainya.
-  Obat penenang: fenobarbital, valium, frisium ativan, dan sebagainya.
2)   Dalam persalinan
-  Kala I akan berlangsung tanpa gangguan.
-  Kala II memerlukan pengawasan yang cermat dan teliti. Bila ada tanda-tanda penyakit bertambah berat dan pembukaan hampir atau sudah lengkap, ibu dilarang mengedan, kala II diperpendek dengan melakukan ekstrasi vakum atau forseps.
-  Pada primitua dengan anak hidup dilakukan segera seksio sesarea primer.
Prognosis
Menurut Mochtar (1998: 143), adapun prognosisnya adalah:
-      Prognosisn untuk ibu kurang baik. Angka kematian ibu kira-kira 1-2%: biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, payah jantung, dan uremia.
-      Prognosis bagi janin juga kurang baik, karena adanya insufisiensi plasenta, solusio plasenta. Janin bertumbuh kurang sempurna: prematuritas, dismaturitas. Angka kematian bayi: 20%.

Nasihat
Menurut Mochtar (1998: 143), adapun nasehat yang disampaikan diantaranya:
-      Dianjurkan untuk memakai kontrasepsi, bila jumlah anak belum cukup, selama beberapa tahun.
-      Bila jumlah anak sudah cukup, dianjurkan untuk segera melakukan tubektomi.
b.    Hipertensi karena penyakit ginjal
Menurut Mochtar (1998: 144), penyakit ginjal dengan gejala hipertensi yang dapat dijumpai pada wanita hamil adalah:
-      Glomerulonefritis akut dan kronik.
-      Pielonefritis akut dan kronik.
Frekuensi:
-      Secara klinis kira-kira 1%
-      Secara patologi-anatomis kira-kira 15%
Pemeriksaan
Menurut Mochtar (1998: 144), pmeriksaannya sebagai berikut:
1)   Pemeriksaan urin lengkap dan faal ginjal
2)   Pemeriksaan retina (fundoskopi)
3)   Pemeriksaan umum: tekanan darah, nadi.
4)   Pemeriksaan kuantitatif albumin air kencing (urin).
5)   Pemeriksaan darah lengkap: ureum darah dan lain-lain.
Penanganan
Menurut Mochtar (1998: 144), penanganannya sebagai berikut:
1)   Pemeriksaan antenatal yang baik dimana pengobatan penyakit ginjal bekerjasama dengan ahli nefrologi.
2)   Keadaan umum ibu dan pertumbuhan janin harus diawasi.
3)   Berat tidaknya penyakit dan perlu tidaknya pengakhiran kehamilan adalah atas indikasi dan pembicaraan beberapa disiplin ilmu yaitu kebidanan, penyakit dalam, dan ilmu kesehatan anak.


C.  Konsep Seksio Sesarea
1.    Definisi
Seksio sesarea ialah pembelahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus.
2.    Hal-hal yang perlu diperhatikan
a.    Seksio sesarea elektif
Seksio sesarea ini direncanakan lebih dahulu karena sudah diketahui bahwa kehamilan harus diselesaikan dengan pemebedahan itu. Keuntungannya ialah bahwa waktu pembedahan dapat ditentukan oleh dokter yang akan menolongnya dan bahwa segala persiapan dapat dilakukan dengan baik. Kerugiannya ialah oleh karena persalinan belum mulai, segmen bawah uterus belum terbentuk dengan bak sehingga menyulitkan pembedahan, dan lebih mudah terjadi atonia uteri dengan perdarahan karena uterus belum mulai dengan kontraksinya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa umumnya keuntungan lebih besar daripada kerugian (Wiknjosastro, 2007: 865).
b.    Anestesia
Anestesia umum mempunyai pengaruh depresif pada pusat pernafasan janin, sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan apnea yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Selain itu ada pengaruh terhadap tonus uterus, sehingga kadang-kadang timbul perdarahan postpartum karena atonia uteri. Akan tetapi bahaya terbesar ialah apabila diberikan anestesia umum sedang lambung penderita tidak kosong. Pada wanita yang tidak sadar karena anestesia ada kemungkinan isi lambung masuk ke dalam jalan pernafasan: hal ini merupakan peristiwa yang sangat berbahaya.
Anastesia spinal aman buat janin, akan tetapi selalu ada kemungkinan bahwa tekanan darah penderita menurun dengan akibat yang buruk bagi ibu dan janin.
Cara yang paling aman adalah anestesia lokal, akan tetapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental penderita.
c.    Transfusi darah
Pada umumnya perdarahan pada seksio sesarea lebih banyak daripada persalinan pervaginam. Perdarahan tersebut disebabkan oleh insisi pada uterus, ketika pelepasan plasenta, mungkin juga karena terjadinya atonia uteri postpartum. Berhubung dengan itu pada tiap-tiap seksio sesarea perlu diadakan persediaan darah.
d.    Pemberian antibiotika
Walaupun pemberian antibiotika sesudah seksio sesarea elektif dapat dipersoalkan, namun pada umumnya pemberiannya dianjurkan.
3.    Tehnik Seksio Sesarea
a.    Tehnik seksio sesarea transperitonealis profunda
Menurut Wiknjosastro (2007: 866-869), adapun tehnik seksio sesarea transperitonealis profunda yaitu:
1)                                                                                                                                                                                               Dauercatheter dipasang dan wanita berbaring dalam letak trendelenburg ringan.
2)                                                                                                                                                                                               Diadakan insisi pada dinding perut pada garis tengah dari simfisis sampai beberapa sentimeter di bawah pusat.
3)                                                                                                                                                                                               Setelah peritoneum dibuka, dipasang spekulum perut, dan lapangan operasi dipisahkan dari rongga perut dengan satu kain kasa panjang atau lebih. Peritoneum pada dinding uterus depan dan bawah dipegang dengan pinset, plika vesiko-uterina dibuka dan insisi ini diteruskan melintang jauh ke lateral: kemudian kandung kencing dengan peritoneum di depan uterus didorong ke bawah dengan jari.
4)                                                                                                                                                                                               Pada segmen bawah uterus, yang sudah tidak ditutup lagi oleh peritoneum serta kandung kencing dan yang biasanya sudah menipis, diadakan insisi melintang selebar 10 cm dengan ujung kanan dan kiri agak melengkung ke atas untuk menghindari terbukanya cabang-cabang arteria uterina. Karena uterus dalam kehamilan tidak jarang memutar ke kanan, sebelum dibuat insisi, posisi uterus diperiksa dahulu dengan memperhatikan ligamenta rotunda kanan dan kiri. Di tengah-tengah, insisi diteruskan sampai dinding uterus terbuka dan ketuban tampak: kemudian luka yang terakhir ini dilebarkan dengan gunting berujung tumpul mengikuti sayatan yang sudah dibuat terlebih dahulu.
5)                                                                                                                                                                                               Sekarang ketuban dipecahkan, dan air ketuban yang keluar diisap. Kemudian spekulum perut diangkat dan tangan dimasukkan ke dalam uterus di belakang kepala janin dan dengan memegang kepala dari belakang dengan jari-jari tangan penolong, diusahakan lahirnya kepala malalui lubang insisi. Jika dialami kesulitan untuk melahirkan kapala janin dengan tangan, dapat dipasang cunam Beorma. Sesudah kepala janin, badan terus dilahirkan, muka dan mulut dibersihkan, tali pusat dipotong, dan bayi diserahkan kepada orang lain untuk diurus. Pada presentasi sungsang atau letak lintang kaki janin dicari, dan janin dilahirkan dengan tarikan pada kaki.
6)                                                                                                                                                                                               Sekarang diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam dinding uterus atau intravena untuk mengusahakan kontraksi yang baik: pinggir luka insisi dipegang dengan beberapa cunam ovum, dan plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara manual.
7)                                                                                                                                                                                               Tampon untuk sementara dimasukkan ke dalam rongga uterus guna mempermudah jahitan luka pada dinding uterus: tampon ini diangkat sebelum luka uterus ditutup sama sekali.
8)                                                                                                                                                                                               Jahitan otot uterus dilakukan dalam 2 lapisan. Lapisan pertama terdiri atas jahitan simpul dengan catgut dan dimulai dari ujung yang satu ke ujung yang lain: jahitan ini memegang otot uterus, akan tetapi sedapat-dapatnya jangan mengikutsertakan desidua. Lapisan kedua terdiri atas jahitan menerus, sehingga luka pada miometrium tertutup rapi.
9)                                                                                                                                                                                               Akhirnya luka peritoneum pada plika vesiko-uterina ditutup dengan jahitan catgut halus sehingga menutup bekas luka pada miometrium dan, setelah diamat-amati bahwa uterus berkontraksi baik dinding perut ditutup dengan cara biasa.
b.    Tehnik seksio sesarea korporal
Menurut Wiknjosastro (2007: 869), adapun tehnik seksio sesarea korporal adalah sebagai berikut:
1)      Setelah dinding perut dan peritoneum parietale terbuka pada garis tengah dipasang beberapa kain kasa panjang antara dinding perut dan dinding uterus untuk mencegah masuknya air ketuban dan darah ke rongga perut.
2)      Diadakan insisi pada bagian tengah korpus uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di atas batas plika vesiko-uterina.
3)      Diadakan lubang kecil pada kantong ketuban untuk menghisap air ketuban sebanyak mungkin: lubang ini kemudian dilebarkan, dan janin dilahirkan dengan tarikan pada kakinya.
4)      Setelah anak lahir, korpus uteri dapat dikeluarkan dari rongga perut untuk memudahkan tindakan-tindakan selanjutnya.
5)      Sekarang diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam dinding uterus atau intravena, dan plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara manual.
6)      Kemudian dinding uterus ditutup dengan jahitan catgut yang kuat dalam dua lapisan: lapisan pertama terdiri atas jahitan simpul dan lapisan kedua atas jahitan menerus. Selanjutnya diadakan jahitan menerus dengan catgut yang lebih tipis, yang mengikutsertakan peritoneum serta bagian luar miometrium dan yang menutup jahitan yang terlebih dahulu dengan rapi.
7)      Akhirnya dinding perut ditutup secara biasa.
4.    Komplikasi
a.    Ibu
Faktor-faktor yang memperngaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan ialah kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi untuk melakukan pembedahan, dan lamanya persalinan berlangsung. Tentang faktor pertama, niscaya seorang wanita dengan plasenta previa dan perdarahan banyak memikul risiko yang lebih besar daripada seorang wanita lain yang mengalami seksio sesarea elektif karena disproporsi sefalopelvik. Demikian pula makin lama persalinan berlangsung, makin meningkat bahaya infeksi postoperatif, apalagi setelah ketuban pecah (Wiknjosastro, 2007: 870).
Menurut Wiknjosastro (2007: 870), komplikasi-komplikasi yang biasa timbul:
1)   Infeksi puerperal
Komplikasi ini bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas: atau bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis, dan sebagainya. Infeksi postoperatif terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala infeksi intrapartum, atau ada faktor-faktor yang merupakan perdisposisi terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi sangat diperkecil dengan pemberian antibiotika, akan tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali: terutama seksio sesarea klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada seksio sesarea transperitonealis profunda.
2)   Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteria uterina ikut terbuka, atau karena atonia uteri.
3)   Komplikasi-komplikasi lain
Seperti luka kandung kencing, embolisme paru-paru, dan sebagainya sangat jarang terjadi.
4)   Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak
Ialah kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih banyak ditemukan sesudah seksio sesaria klasik.
b.    Anak
Seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan seksio sesarea banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan seksio sesarea. Menurut statistik di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intranatal yang baik, kematian perinatal pasca seksio sesarea berkisar antara 4-7% (Wiknjosastro, 2007: 870).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar